Manusia mempunyai adat yang berbeda ketika shalat tarawih, diantaranya membaca zikir, doa atau membaca sebagian ayat al-Qur’an setelah selesai dua rakaat Shalat Tarawih. Di Aceh sepanjang pengamatan kami, zikir-zikir yang dibaca di sela-sela Shalat Tarawih pada umumnya berupa shalawat kepada Nabi SAW, do’a-do’a, dan tasbih antara lain berbunyi :
Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW atau sahabat ataupun dari tabi’in yang menjadi contoh pengamalan zikir-zikir dan doa di atas yang diucapkan di sela-sela shalat Tarawih. Namun tidak ada contoh dari Rasulullah dan para salaf, bukan berarti amalan zikir-zikir dan do’a ini menjadi terlarang, karena tidak ada larangan melakukan ibadah di sela-sela shalat Tarawih, bahkan berdasarkan keterangan al-Ruyani dalam Bahrul Mazhab, para Salafulshalih, yakni penduduk Makkah pada zaman Imam Syafi’i melakukan thawaf tujuh kali pada setiap setelah empat raka’at shalat Tarawih dan penduduk Madinah menambah empat raka’at shalat sunat pada setiap setelah empat raka’at shalat Tarawih sebagai ganti dari thawaf yang dilakukan penduduk Makkah, sehingga menurut Imam Syafi’i jumlah raka’at shalat penduduk Madinah ketika itu menjadi tiga puluh enam, yakni 20 rakaat Tarawih + 4 X 4 = 36 raka’at.[1] Amalan ini tentunya tidak ada contoh dari Nabi, namun nyatanya tidak ada pengingkaran dari para ulama, padahal waktu itu penduduk Makkah dan Madinah masih banyak dari kalangan Tabi’in.
Berdasarkan penjelasan di atas, dipahami bahwa melakukan ibadah disela-sela shalat Tarawih, seperti shalat sunnat mutlaq, thawaf, do’a-doa, zikir dan tasbih disela-sela shalat Tarawih dibolehkan dan khususnya mengenai amalan thawaf dan shalat sunat mutlaq disela-sela shalat Tarawih pernah dilakukan oleh para shalaful shalih. Kebolehan ini dengan mendasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Amalan thawaf, shalat sunat mutlaq, zikir dan doa tersebut masuk dalam keumuman perintah thawaf, shalat sunat mutlaq, berdo’a dan berzikir, dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, baik pada sela-sela shalat Tarawih maupun pada waktu lainnya. Dalil zikir boleh dibaca kapanpun secara mutlaq antara lain firman Allah SWT :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang (Q.S. al-Ahzab : 41-42)
2. Karena amalan tersebut tidak ada contoh langsung dari Nabi SAW, maka ia termasuk dalam katagori bid’ah hasanah, karena ada dalil umum yang membolehkannya. Dalil adanya bid’ah hasanah antara lain Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [2] dan Muslim [3])
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. [4]
Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah
_________________________________________________________________
[1] Al-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi, Beirut, Juz. II, Hal. 380
سبحان الملك المعبود سبحان الملك الموجود سبحان الملك الحي الذي لا ينام ولا يموت ولا يفوت ابدا سبوح قدوس ربنا ورب الملائكة والروح سبحان الله والحمد لله ولا اله الا الله والله اكبر ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW atau sahabat ataupun dari tabi’in yang menjadi contoh pengamalan zikir-zikir dan doa di atas yang diucapkan di sela-sela shalat Tarawih. Namun tidak ada contoh dari Rasulullah dan para salaf, bukan berarti amalan zikir-zikir dan do’a ini menjadi terlarang, karena tidak ada larangan melakukan ibadah di sela-sela shalat Tarawih, bahkan berdasarkan keterangan al-Ruyani dalam Bahrul Mazhab, para Salafulshalih, yakni penduduk Makkah pada zaman Imam Syafi’i melakukan thawaf tujuh kali pada setiap setelah empat raka’at shalat Tarawih dan penduduk Madinah menambah empat raka’at shalat sunat pada setiap setelah empat raka’at shalat Tarawih sebagai ganti dari thawaf yang dilakukan penduduk Makkah, sehingga menurut Imam Syafi’i jumlah raka’at shalat penduduk Madinah ketika itu menjadi tiga puluh enam, yakni 20 rakaat Tarawih + 4 X 4 = 36 raka’at.[1] Amalan ini tentunya tidak ada contoh dari Nabi, namun nyatanya tidak ada pengingkaran dari para ulama, padahal waktu itu penduduk Makkah dan Madinah masih banyak dari kalangan Tabi’in.
Berdasarkan penjelasan di atas, dipahami bahwa melakukan ibadah disela-sela shalat Tarawih, seperti shalat sunnat mutlaq, thawaf, do’a-doa, zikir dan tasbih disela-sela shalat Tarawih dibolehkan dan khususnya mengenai amalan thawaf dan shalat sunat mutlaq disela-sela shalat Tarawih pernah dilakukan oleh para shalaful shalih. Kebolehan ini dengan mendasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Amalan thawaf, shalat sunat mutlaq, zikir dan doa tersebut masuk dalam keumuman perintah thawaf, shalat sunat mutlaq, berdo’a dan berzikir, dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun, baik pada sela-sela shalat Tarawih maupun pada waktu lainnya. Dalil zikir boleh dibaca kapanpun secara mutlaq antara lain firman Allah SWT :
يا أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكراً كثيراً وسبحوه بكرة وأصيلاً
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang (Q.S. al-Ahzab : 41-42)
2. Karena amalan tersebut tidak ada contoh langsung dari Nabi SAW, maka ia termasuk dalam katagori bid’ah hasanah, karena ada dalil umum yang membolehkannya. Dalil adanya bid’ah hasanah antara lain Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [2] dan Muslim [3])
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. [4]
Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah
_________________________________________________________________
[1] Al-Ruyani, Bahr al-Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi, Beirut, Juz. II, Hal. 380
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1343, No.Hadits 1718
[4] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
Sumber : http://kitab-kuneng.blogspot.com/search/label/do%27a%20dan%20zikir
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1343, No.Hadits 1718
[4] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
Sumber : http://kitab-kuneng.blogspot.com/search/label/do%27a%20dan%20zikir
0 comments:
Post a Comment