Upacara ini sangat penting artinya bagi
sebuah keluarga, rambut yang di bawa dari dalam kandungan di sebut bulu
panas, maka harus dihilangkan. Untuk itu masyarakat Sasak melakukan
selamatan, doa atau upacara sederhana yang disebut ngurisang. Pada
upacara ini pihak keluarga mengundang para tokoh agama, tokoh
masyarakat, dan tokoh adat untuk membacakan selakaran yang terdiri dari
untaian do’a dan Shalawat Nabi.
Anak merupakan sesuatu yang sangat
didambakan bagi pasangan suami istri, begitu pula dengan masyarakat
sasak. Ketika mendapatkan seorang anak (melahirkan anak) masyarakat
sasak umumnya melakukan berbagai upacara untuk mensyukuri kelahiran
anaknya. Berikut adalah berbagai Upacara Kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat sasak sebelum dan ketika telah melahirkan anak.
A. BRETES
Upacara bretes dilakukan setelah usia
kandungan tujuh bulan dengan maksud memberikan keselamatan kepada ibu
dan calon banyinya. Setelah banyi lahir, ari-arinya diperlakukan sama
dengan sang banyi, karena menurut mereka ari-ari adalah saudara sang
banyi yang oleh orang-orang Sasak disebut adik-kakak, berarti bayi dan
ari-arinya adalah adik-kakak.
Setelah ari-ari dibersihkan kemudian di
masukkan ke dalam periuk atau tempurung kelapa setengah tua yang sudah
dibuang airnya kemudian ditanam di wilayah penirisan yang diberi tanda
dengan gundukan tanah seperti kuburan. Sebagai batu nisannya
dipergunakan bambu kecil berlubang yang diletakkan berdampingan dengan lekesan daun sirih
yang sudah digulung dan diikat dengan benang putih, pinang, kapur sirih
dan rokok tradisional. Semua kelengkapan tadi ditata dalam rondon. Rondon tersebut dari daun pisang yang berbentuk segi empat menyerupai kotak.
B. MELAHIRKAN ANAK
Setelah itu mengadakan sesaji atau
selamatan melalui upacara tertentu yang berkaitan aktivitas kehidupan
mereka sehari-hari, sebagai mana halnya yang dilakukan wanita Sasak
apabila melahirkan, maka suaminya segera mencari belian (dukun beranak)
yang mengetahui seluk beluk melahirkan tersebut.
Dalam melahirkan, apabila calon ibu
kesulitan dalam melahirkan maka belian atau dukun beranak menafsikan
bahwa tingkah laku sang ibu sebelum hamil, misalnya kasar terhadap suami
atau ibunya, untuk itu diadakan upacara seperti menginjak ubun-ubun,
meminum air bekas cuci tangan yang disertai dengan mantra dan sebagainya
agar mempercepat kelahiran sang bayi.
C. MOLANG MALIK
Pada saat bayi berumur tujuh hari diadakan upacara molang malik (membuang
sial) diperkirakan dalam usia tersebut pusar bayi telah gugur. Pada
kesempatan itulah sang bayi diberi nama dan diperbolehkan keluar rumah. Belian
(dukun beranak) mengoleskan sepah sirih di atas dada dan dahi sang
bayi maupun ibunya. Di beberapa tempat di Lombok selain upacara molang
malik dikenal juga upacara pedak api yang pada hakikatnya bertujuan sama. Prosesi pelaksanaan pedaq api adalah :
- Mem-boreh sang ibu dengan boreh yang sudah diramu atau di haluskan dan diberi doa oleh dukun beranak.
- Setelah selesai memboreh lalu dukun menyiapkan bara api yang terbuat dari sabut kelap yang di taburi kemenyan dari daun lemundi (sejenis tumbuhan pardu).
- Ibu bayi menggunkan kain secara berkembeng (kain sampai batas dada) sambil menggendong bayinya dan berdiri diatas bara api dan kemudian dukun memberinya doa / mantra.
- Setelah dukun beranak atau belian selesai berdoa bara api disiram dengan air bunga rampai (medak api)
- Kemudian sang ibu menyembe’ dan menjam-jam (mendoakan si bayi menurut kehendak sang ibu). Hal ini dilakukan apabila tali pusar sang bayi sudah kering dan terlepas dari pusarnya.
Pada saat itu juga diadakan upacara turun
tanah (turun gumi) dengan menurunkan bayi tersebut sebanyak tujuh kali
ke atas tanah. Bertepatan dengan ini juga diadakan pemberian nama pada
si bayi. Untuk bayi perempuan diturunkan bilamana terdapat alat nyesek (menenun) dan untuk bayi laki-laki diturunkan bilamana terdapat tenggele/bajak
(alat pertanian). Umumnya dibeberapa tempat, si bayi yang melangsungkan
upacara pedaq api digendong memakai umbaq (lempot). Bila bayinya
perempuan maka yang dipakai adalah umbaq yang dipakai milik ayah,
sedangkan jika laki-laki maka yang dipakai adalah umbaq milik ibunya.
Bagi orang Sasak, pusar si bayi yang
sudah jatuh disimpan dan dibungkus dengan kain putih dan kemudian
dimasukkan ke dalam tabung perak atau kuningan untuk dijadikan azimat.
Selain itu air bekas siraman pusar bisa dijadikan obat apabila si anak
sakit mata.
D. NGURISANG
Biasanya seorang laki-laki atau ayahnya
menggendong bayi tersebut sambil berjalan berkeliling dihadapkan orang
–orang yang sedang membacakan selakaran serta masing –masing yang hadir
memotong sedikit rambut sang bayi dengan gunting yang direndam dalam
air bunga. Pada upacara ini dikenakan sabuk pemalik yakni alat yang
dipergunakan untuk menggendong si bayi. Sabuk pemalik dianggap keramat
karena proses pembuatan dan penyimpanannya berdo’a.
Upacara ngurisang biasanya diadakan
secara besar-besaran dan diikuti dengan upacara bekekah yaitu memotong
hewan kurban di sebut begawe kekah. Sering kali terkadang pelaksanaan
bekuris agak mundur karena terkait dengan finansial. Namun jika tidak
mampu cukup pergi ke dukun beranak yang telah membantu kelahirannya.
Dalam hal ini cukup mengantar sesaji (andang-andang) dan sabuk katik
(sejenis umbak tepi berukuran kecil dengan bentuk masih bersambung).
Sabuk ketiq di masyarakat Sasak disebut Lempot puset atau sabuk kuning.
Beberapa kelompok masyarakat ada yang
melaksanakan upacara ngurisang di pedewaq atau kemaliq (ritual waktu
telu) disebut begawe rasul. Sebelum upacara ngurisang dimulai terlebih
dahulu dibuatkan umbaq kombong yaitu umbaq yang rumbainya tidak terdapat
ikatan kepeng bolong (uang logam China). Jika terdapat ikatan pada
rumbainya maka umbaq tersebut dipergunakan pada upacara ngayu-ayu di
masyarakat Sasak.
Tenun umbaq kombong dibuat oleh ibu atau nenek yang dipandang
memiliki kemampuan secara spiritual dan tidak dalam keadaan kotor. Jika
tidak memiliki kemampuan dapat mendatangkan bencana bagi si penenun.E. NYUNATANG
Nyunatang (Khitanan) selain merupakan acara adat, juga merupakan acara keagamaan dalam hal ini terkenal dengan nama “nyunatang”. Pada umumnya suku Sasak memeluk agama Islam yang dalam ajarannuya diperintahkan bagi anak laki-laki untuk dikhitan ( nyunatang). Dalam nyunatang terjadi
pertalian antara nilai-nilai agama Islam dengan Tradisi lama yang
berkembang dalam suku Sasak, sehingga diadakan pada bulan Maulid nabi
besar Muhammad SAW. Anak laki-laki yang akan dikhitan bisanya berumur
lima tahun atau tujuh tahun, namun dalam prakteknya anak-anak berumur
empat tahun pun dikhitan. Dalam upacara nyunatang ada beberapa hal yang harus dilakukan :
a. Menjelang Nyunatang
Upacara adat nyunatang adalah salah satu upacara yang sangat penting bagi masyarakat Sasak yang selalu dipestakan yang disebut begawe.
Dalam prosesi begawe ini banyak sekali dilalui berbagai macam acara
seperti pergi membersihkan beras ke mata air yang diiringi dengan
bunyi-bunyian musik tradisional gendang belek atau gamelan.
b. Pelaksanaan Nyunatang
Sehari sebelum
pelaksanaan nyunatang terlebih dahulu diambilkan air kemaliq untuk
disiram ke ujung kemaluan yang akan dipotong , biasanya diiringi dengan
bunyi-bunyian. Proses penyiraman dan pemandian dilangsungkan pada tengah
malam. Pada keesokan harinya untuk menyenangkan anak yang akan disunat
maka anak tersebut diarak dengan praja (kuda/singa kayu) yang diiringi
dengan musik dan rombongan yang berpakaian adat.
Anak yang akan dikhitan
dibawa ketempat penyunatan (sepekat). Setelah disunat segera diobati,
untuk mengurangi pendcarahan pada bekas sunatan, ditaburi bulu kucing
yang dicampur dengan kuning telur, supaya lekas kering ditaburi dengan
batu karang yang telah ditumbuk halus.
Pada masyarakat Sasak,
upacara nyunatang dilaksanakan pada hari Kamis sebagai puncak acara
dalam bulan Maulid. Hal ini dikaitkan dengan kelahiran seorang Rasul
pembawa agama Islam. Kegiatan ini bermakna simbolis atas pengakuan,
pembentukan dan pembinaan dalam fase awal untuk menjadi seorang muslim.
Oleh karena itu, diyakini sangat tepat upacara nyunatang dirangkaikan
dengan peringatan akhir kelahiran Nabi.
Kemudian, untuk
keperluan nyunatang dibuatkan pepaosan yaitu balai yang dihias sebagaui
tempat duduk undangan yang melambangkan derajat upacara resmi. Untuk
menghias tempat pepaosan sering digunakan kereng kemaliq (kain yang
disucikan ), sedangkan petugas yang disuruh membuat pepaosan adalah
seorang nyaka dan mantri yang didatangkan dari berbagai kampung. Bagi
anak-anak Sasak yang akan dikhitan diharuskan memakai kereng yang khusus
ditenun pada bulan Rabiul Awal.
_________________________________________________________________________
Sumber : Bahan Ajar Muatan lokal gumi sasak untuk SD/MI Kelas V oleh H. Sudirman dkk.
0 comments:
Post a Comment