Cerita yang bertradisi panjian ini
membuka tuturannya dengan menceritakan kemasygulan dua Raja bersaudara,
yaitu Raja Keling dan Raja Daha. Konon kedua Raja tersebut belum
dikarunia putra meskipun telah lama menikah. Karena hal tersebut kedua
raja tersebut bersepakat untuk pergi ke sanggar pemujaan (Bahasa Sasak :
pedewaq ) untuk melepas nazar ( sesangi ), guna memohon kepada Allah
Yang Mahakuasa agar memperoleh putra. Dengan disaksikan oleh patuh,
mentri-mentri dan kaula (pengiring), kedua raja tersebut melepas nazar.
Raja Daha, dengan tangan terkepal ia
berkata “ Wahai seluruh rakyatku ! Wahai sang maha pencipta, dengarlah
janji sesangiku (nazar), jika sekiranya aku dikaruniai anak putri aku
akan datang ke tempat ini untuk menyerahkan tebusan dengan membawa dua
ekor kerbau yang gemuk, akan kulapisi kulitnya dengan emas murni,
bertanduk Intan Belian, bersepatu Perak, dan berekor Sutra Kuning,
inilah janjiku “.
Setelah itu tampillah raja Keling, iapun
naik di bukit kayangan dengan suara lirih sambil menengadahkan kedua
tangannya iapun berkata : “ Wahai zat yang Maha Pencipta dengarkanlah
pintaku, aku mohon pada-Mu berikanlah aku seorang putra, jika engkau
kabulkan do’aku ini aku akan datang ke tempat ini lagi denganmembawa,
selembar Sirih, sebuah Pinang, sejumput Kapur dan sebatang Rokok, inilah
janjiku.”
Tidak lama kemudian Tuhanpun mengabulkan
permohonan mereka, kedua permaisuri tersebut telah menunjukkan
tanda-tanda kehamilan. Singkat cerita permaisuri Raja Daha melahirkan
bayi perempuan dan permaisuri Raja Keling melahirkan bayi laki-laki.
Sebagai rasa syukur atas kelahiran
putranya, pada hari yang keempat puluh Datu Keling mengajak punggawa
kerajaan dan seluruh rakyatnya untuk mengadakan upacara syukuran
sekaligus penebusan di pantai Kayangan, ia memerintahkan agar membawa
dua ekor kerbau gemuk, bekulit emas, bertanduk intan permata dan
bersepatu perak serta berekor sutra jingga. Dua ekor kerbau itu
disembelih, kepalanya dibuang ke laut, daging-dagingnya dibagikan kepada
pakir miskindan anak yatim. Demikian pula perhiasan Kerbau tersebut
dibagikan kepada rakyatnya. Pada saat itulah putra kerajaan Keling
diberi nama RADEN MAS PANJI.
Lain halnya dengan Raja Daha,
ia lupa pada janji yang telah diucapkannya. Ia terbuai oleh rasa
bahagia karena mempunyai seorang putri. Sampai putrinya berusia dua
tahun baru ia ingat pada janjinya.
Maka iapun memerintahkan agar
membawa dua ekor kerbau kurus yang tidak dihiasi dengan apapun. Ketika
mereka berada di bulit Kayangan, tiba-tiba berhembus angin putting
beliung, dengan takdir Allah yang maha kuasa, putri Raja Daha kemudian
diterbangkan oleh angin dengan begitu cepat, raja terperanjat
menyaksikan, tertegun tak mampu beruat sesuatu, permaisuri dan raja
memandang kepergian putrinya yang melayang-layang. Raja hanya mampu
memandang langit saja. Tiada tertuturkan nasib si bayi, sudah tak tampak
lagi, menghilang dari pandangan mata, Rajapun seperti gila, ia berpeluk
sambil menangis berguling-guling, Raja Daha tak sadarkan diri, nangis
pula para pengiringnya suara tangis riuh rendah, akhirnya Datu Keling
dan Datu Daha berangkat pulang ke negerinya.
Putri raja yang diterbangkan
angin putting beliung dan terjatuh di sebuah Taman Sari milik Raja
Keling. Ditemukan oleh penungu Taman yang bernama Amaq dan Inaq Bangkol
(bangkol = mandul ). Sang Putri dipeliharanya dengan penuh kasih sayang
yang kemudian kemudian diberi nama Cilinaye ( si kecil yang sengsara ).
Sementara itu putra Raja
Keling yang bernama Raden Mas Panji juga tumbuh menjadi putra mahkota
yang gagah. Kini usianya mencapai 17 tahun. Ia adalah seorang pangeran
yang sangat cerdas, tampan dan penyabar. Setiap hari ia dilatih olah
kanuragan oleh seorang guru. Selain itu ia juga diajar mengaji, ilmu
agama dan ilmu budi pekerti.
Pada suatu malam Raden Mas
Panji bermimpi yang sanget aneh, ia bermimpi sang rembulan tiba-tiba
turun dari langit dan jatuh dari pangjuannya, ia mendekap bulan itu
dengan penuh kasih sayang.
Ketika bangun Raden Mas Panji memanggil Raden Wirun seorang abdi dalem yang bertugas untuk mendampingi Raden Mas Panji.
“ Kakang Wirun, semalam aku bermimpi yang sangat aneh,”
“ Oh ya, bolehkah aku tahu apa gerangan mimpi Adik Panji itu ?”
“ Aku bermimpi sang rembulan jatuh di pangkuanku, lalu aku mendekapnya erat-erat” tutur Raden Mas Panji.
“ Oh, benar-benar aneh mimpi Adik Mas
Panji itu.Selama hidupku aku sendiri belum pernah mimpi seaneh itu “
kata Raden Wirun sedikit tercengang. ”sebaiknya kita ceritakan mimpi itu
kepada ayahanda Prabu,” lanjutnya.
Raden Wirunpun tanpa pikir panjang, langsung menghadap Raja Daha untuk menceritakan mimpi Raden Mas Panji.
“setelah mendengar cerita mimpi tersebut,
beliau sangat terkejut, sebentar kemudian Raja Dahapun berkata : “
Wahai anakku Raden Wirun mimpi anakku pertanda baik, jika anakmu Raden
Panji pergi memancing, niscaya ia akan mendapat ikan yang banyak, jika
ia berusaha pasti ia akan mendapat untung yang banak, jika ia berburu
pasti ia akan mendapat binatang buruan yang banyak. Sampaikan salamku
pada adikmu, jangan merasa sedih dengan mimpi itu dan suruhlah ia
memilih pekerjaan yang yang hendak ia lakukan, yang jelas pastiia akan
memperoleh keuntungan.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Raden
Wirun, Raden Mas Panji pun mengajak Raden Wirun untuk berburu Kijang
Putih. Dalam perburuan tersebut Raden Mas Panji ditemani oleh Raden
Wirun, Patih Andaga dan paman Semar. Berhari-hari mereka berburu tak
satupun binatang yang ia dapatkan sampai akhirnya mereka beristirahat di
bawah pohon kayu yang rindang. Ketika sedang istirahat tersebut
Rombongan Raden Mas Panji bertemu dengan Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol
yang sedang mencari bunga di pinggir hutan. Setelah memperkenalkan diri
Raden Mas Panji menawarkan diri untuk menginap di rumah Inaq Bangkol.
Inaq Bangkol takut untuk menolak karena Raden Mas Panji adalah Putra
dari Raja Keling yang merupakan pemilik dari taman Mekarsari yang dijaga
oleh Inaq Bangkol dan Amaq Bangkol.
Diceritakan Raden Panji
datang kerumah Inaq dan Amaq Bangkol. Mengetahui kedatangan Raden Panji,
maka Inaq dan Amaq Bangkol menyembunyikan Cilinaye pada sebuah teropong
yaitu bambu tempat memasukkan benang pada waktu menenun. Namun karena
takdirnya memang berjodoh dengan Raden Panji maka rambut Cilinaye
tersangkut pada hulu keris Raden Panji.
Diceritakan Raden Panji segera mengutus
Raden Wirun untuk menghadap ayahandanya Prabu Keling, guna menceritakan
keinginan Raden Panji untuk menikah dengan Anak Bangkol Cili.
Sesampainya di Balairung kerajaan Raja Keling segera menyambut Raden
Wirun dan menanyakan kabar Raden Panji selama berburu. Setelah
menghaturkan sembah, Raden Wirun menceritakan pengalaman mereka selama
berburu. Dalam perburuan tersebut tak satupun buruan binatang yang
didapat, selanjutnya Raden Wirun menceritakan kisah pertemuan mereka
dengan Putri Bangkol Cili serta mengutarakan niat Raden Panji untuk
mempersunting Putri Bangkol Cili.
Demi mendengar akan maksud putranya Raja
Keling sangat murka. Sudah gilakah putraku itu, itu sama artinya dengan
menjatuhkan badan di air yang kotor, dari pada ia kawin dengan anak babu
itu lebih baik ia bunuh dulu saya, Raden Wirun ! katakan pada adikmu,
nasehati dia apapun alasannya dia harus mengindari hubungannya dengan La
Cili, saya selamanya tidak akan pernah memberi restu”.
Raden Wirun segera mohon pamit pada Raja
Keling untuk menjumpai Raden Panji. Sesampainya di sana dijumpainya
mereka sedang berkumpul. Raden Wirun segera menyampaikan pesan Raja
Keling kepada Raden Panji yang berisi penolakan dan larangan untuk
mengakhiri hubungannya dengan putri Bangkol Cili. Mendengar kabar
tersebut Inaq Bangkol berkata : “Aduh Gusti, sudah kuduga sebelumnya,
pastilah kami yang akan disalahkan, hamba mohon sudilah kiranya Raden
meninggalkan putri kami demi menjaga martabat paduka dan demi kebaikan
bagi kami. Namun dengan mantap Raden Panji berkata
“Sudah pasti, nasehat ayahanda Prabu akan
kutolak, apapun yang terjadi siap aku jalani, lebih aku mati atau hidup
menderita daripada tidak berjodoh dengan Sang Putri. Akhirnya meski
tanpa restu Raja Keling, Raden Panji dengan dibantu oleh pengikut
setianya tetap melangsungkan pernikahan.
Pernikahan dua sejoli ini
tidak direstui oleh Datu Keling karena menganggap anaknya mengawini
orang kebanyakan ( bukan keturunan bangsawan ). Ketidak setujuan Datu
Keling membawa tuturan berikutnya menjadi tragis. Datu Keling segera
memerintahkan seorang penggawa kerajaan untuk memanggil juru Tuwok dan
Dende Pati. Setelah menghadap Sang Prabu keduanya langsung menghaturkan
sembah. Datu Keling kemudian berkata “ Adapun maksudku memanggil kalian
adalah untuk melaksanakan tugas yang berat. Aku tidak ingin kerajaan ini
ternoda oleh keturunan orang yang tidak jelas asal usulnya, untuk itu
kalian harus melenyapkan Si Cili. Jika kalian gagal maka nyawa kalian
taruhannya “.
Meski dengan berat hati Juru Tuwok dan Dende Pati menjawab “segala titah paduka akan kami laksanakan”.
Sementara itu Raden Mas Panji sengaja diperintah untuk mencari Kijang Putih untuk ibunya yang sedang sakit.
Diceritakan bahwa Juru Tuwok dan Dende
Pati sudah sampai di tempat Putri Cilinaye. Dijumpai Putri Cilinaye
sedang menyuapi putranya yang baru berumur enam bulan.
“Maksud kedatangan kami adalah untuk menjalankan perintah Prabu Keling, kami harus membunuh Cili ! kata Juru Tuwok.
“Kalau itu perintah Prabu laksanakanlah,
akan tetapi hamba mohon diberi kesempatan untuk menyusui dan menyuapi
putra hamba “ mohon Putri Cilinaye “ Baiklah, susui dan suapi anakmu
sekenyang-kenyangnya “Sahut Dende Pati.
Dengan penuh deraian air mata Putri Cilinaye menyuapi putranya, sambil melantunkan tembang.
“Sudah menjadi suratan Takdir
Ketentuan dari Allah Yang Maha Kuasa
Yang harus aku jalani
Merupakan kesanggupan jiwa sejak azali.
Ketika telah sampai di tengah padang yang
luas tempat Putri Cilinaye akan dibunuh berkatalah Dende Pati.
“Disinilah kamu akan kami bunuh Cili ! kata Dende Pati. Dengan tenang
Putri Cilinaye menjawab. “Hamba mohon tempat yang sepi dan jauh dari
desa, hamba khawatir nanti bau bangkai hamba akan tercium oleh penduduk
desa. Kalau tuan berkenan bunuhlah hamba di Tanjung Menangis, pinta
Putri Cilinaye. Akhirnya disetujui tempat pembunuhannya di Tanjung
Menangis.Sesampainya di Tanjung Menangis Putri Cilinaye berkata :
“Dengarkanlah oleh kalian !
“Kalau benar hamba ini keturunan rakyat
jelata (sasak jajar karang) lihatlah nanti ! jika darah hamba berwarna
merah dan berbau amis serta apabila darah hamba jatuh ketanah maka hamba
benar-benar keturunan rakyat jelata. Akan tetapi lihatlah nanti ! jika
darah hamba berwarna putih, berbau harum dan muncrat ke langit, maka
hamba adalah keturunan kusuma (bangsawan).
Terbukti ketika Juru Tuwok menghujamkan
keris pusaka tepat pada payudara Putri Cilinaye. Darah yang keluar
berwarna putih berbau harum serta mencurat ke langit.
Karena dihantui oleh perasaan
tidak enak akhirnya Raden Mas Panji meninggalkan pulang ketiga
pengawalnya yang masih dalam keadaan tidur. Setelah sampai di rumah
Raden Mas Panji tidak menemui isterinya lama ia mencari akhirnya Raden
Mas Panji menemukan mayat isterinya beserta anaknya.
Raden Panji berkata : “Allah, beginilah
kejadiannya. Andaikan aku tahu begini jadinya, tentu takkan kutinggalkan
kalian berburu. Tidaklah salah apa yang pernah dinda katakan, inilah
siasat untuk memisahkan kita. Semoga Allah membalas perbuatan jahat
mereka.
Aduh wahai ananda buah hati. Sungguh
malang nasibmu masih kecil sudah sengsara, ditinggal mati ibu tercinta
sebagai akibat dianiaya orang.
“Semoga Allah Yang Maha Kuasa mengabulkan
permohonanku agar nanda tetap dalam lindungan-Nya, semoga nanda selamat
di dunia sampai akhirat”.
Ketika mereka terbangun (dari
istirahat setelah berburu), didapatinya Raden Panji sudah tidak ada
ditempatnya. Merekapun berpencar untuk mencari kemana gerangan Raden
Panji pergi. Lama mencari tanpa hasil merekapun memutuskan untuk pulang
ke rumah isteri Panji Anom. Di rumah tak seorangpun didapatinya dalam
keadaan termenung mereka mereka mendengar suara ghaib yang yang memberi
tahu bahwa Raden Panji berada di Tanjung Menangis. Sesampainya di
Tanjung Menangis didapatinya Raden Panji sedang memangku mayat isterinya
Raden Andaga dan Turas Semar segera menghatur sembah dan mohon agar
mereka mengganti Raden Panji untuk menggendong putra serta memandikan
mayat isterinya, akan tetapi mesti sudah berulangkali diminta Raden
Panji tetap menolak”.
Karena rasa cinta Raden Mas
Panji terhadap isteri maka mayat Cilinaye dibuatkan table (peti) lalu
diikat dengan benang seribu depa. Tadinya adalah Ilham yang menyuruh
agar mayat Cilinaye yang tersimpan di dalam peti dihanyutkan ke laut.
Tersebutlah Raden Panji memegang talinya seraya mengikuti arah peti yang
terhanyut dengan sendirinya.
Sepeningal Putri Cilinaye yang telah
dihanyutkan dalam peti (table) Raden Panji memutuskan untuk tidak
kembali ke istana dan membangun gubuk di tengah hutan. Secara bergantian
mereka mencari buah atau daun yang dapat dimakan oleh Raden Panji.
Raden Panji yang sangat mencintai
isterinya itu tetap menunggu di tepi pantai bersama anak dan lima orang
pengiringnya yaitu Raden Wirun, Jurudeh, Semar, Togog, Andega, dan
Kalang.
Pada suatu hari Raden Mas Panji meminta
pendapat kepada pengawalnya untuk memberikan nama bagi anaknya. Kemudian
Raden Wirun berpendapat “Menurut hamba, jika Raden berkenan hamba
memberikan nama berdasarkan tingkahlakunya yang telah lalu, yang suka
duduk di atas dangau (lanyon) sambil memainkan buah bile (maja), maka
hamba mengusulkan namanya Panji Bile. Kemudian Tures Semar berkata “
Kalau hamba mengusulkan nama berdasarkan pengalaman hidupnya yang
sengsara, dimana masih membutuhkan tali kasih ibunya, sudah harus putus
(pegat) karena mati dibunuh orang. Oleh karena itu kalau tuanku berkenan
hamba mengusulkan nama Raden Megatsih yang berarti megat (putus) Tali
Kasih. Raden Panji Anom akhirnya menyetujui nama yang diusulkan oleh
Turas Semar.
Akhirnya cerita berakhir dengan pertemuan Cilinaye dan Raden Panji dengan perantara sang anak.
Demikianlah cerita panjian
ini dimana tokoh utama terlebih dahulu secara berkali-kali menemui
kerumitan dan atau cobaan, namun kebahagiaan jua yang ditemui pada
akhirnya.
================================================
0 comments:
Post a Comment