Oleh Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Short message service (SMS) jelas
merupakan sarana efektif bagi masyarakat untuk berkomunikasi. Segala
jenis informasi bisa disebar hanya dalam hitungan menit, bahkan detik.
Selain sebagai sumber berita, SMS juga dapat menjadi sumber belajar dan
bahkan dari perspektif negatif, layanan ini juga dapat memberikan
pengaruh dan citra buruk bagi sebuah tatanan, baik secara individu
maupun kelompok. Beberapa berita atau isu soal gempa di Jakarta, ancaman
terorisme, hingga bocornya soal-soal ujian nasional adalah di antara
beberapa contoh betapa efektifnya penggunaan SMS.
Di Kota Bekasi (mungkin juga di kota-kota
lainnya di Indonesia), khususnya dalam 2 minggu terakhir ini, merebak
SMS dari satu guru ke guru lainnya tentang adanya “penyakit” di kalangan
para pendekar pendidikan. Bunyi SMS ini memang terasa lucu dan sedikit
mengada-ada, tapi dari segi substansi tampaknya kita tak bisa menganggap
remeh isu penyakit guru ini. Gejala penyakit ini bahkan menjadi bahan
diskusi yang cukup serius di lingkungan para guru, sambil di antaranya
mereka mencoba mencocokkan jenis penyakit mana yang sudah ada dalam diri
mereka masing-masing.
Inilah bunyi 13 penyakit guru versi SMS
itu, yang jika penyakit itu diklasifikasi menjadi tiga jenis
keterampilan (skill), yaitu kemampuan personal (kepribadian),
metodologis, dan teknis. Pada aspek kemampuan kepribadian guru, penyakit
yang disinyalir ada meliputi THT
(tukang hitung transport), hipertensi (hiruk persoalkan tentang
sertifikasi), kudis (kurang disiplin), dan asma (asal masuk).
Banyak sekali dijumpai guru yang selalu berhitung soal pembagian
transport dari dana BOS, kecurangan dalam hal proses sertififikasi,
kurang disiplin dan masuk sembarangan hanya sekadar memenuhi absensi.
Gejala ini sangat umum terjadi di lingkungan guru dan sekolah kita.
Diklasifikasi kedua, yaitu soal aspek
metodologis, disinyalir guru bahkan memiliki lebih banyak penyakit.
Jenis-jenis penyakitnya, antara lain salesma
(sangat lemah sekali membaca), asam urat (asal mengajar, kurang
akurat), kusta (kurang strategi), kurap (kurang persiapan), stroke (suka
terlambat, rupanya kebiasaan), keram (kurang terampil), serta mual
(mutu amat lemah). Aspek metodologis ini memang sangat
terkait erat dengan faktor courage dan kesadaran untuk berkembang yang
seharusnya dimiliki oleh seorang guru.
Sedangkan diklasifikasi ketiga yang menyangkut aspek keterampilan, penyakit guru disinyalir adalah TBC (tidak bisa computer) dan gaptek (gagap teknologi).
Kita memang tak cukup punya bukti statistik, seberapa banyak sebenarnya
jumlah guru yang sampai saat ini belum bisa dan mengerti soal komputer
dan makna penting teknologi sebagai bagian dari pengembangan bahan ajar
di kelas.
Merebaknya jenis-jenis penyakit di atas,
meskipun disampaikan dengan cara dan tujuan untuk melucu, jelas memberi
kita gambaran kondisi dan suasana batin para guru kita saat ini. Jika
penyakit-penyakit tersebut memang benar adanya, kesalahan pertama harus
kita tempakan kepada otoritas pendidikan kita yang salah dalam
merumuskan kebijakan soal pengembangan kapasitas profesional guru. Guru
seakan lupa pada rumusan dan definisi tentang pendidikan yang tertera
dengan amat gamblang di dalam undang-undang sistem pendidikan nasional
kita, yaitu sebagai sebuah “….usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Kata “mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran” jelas merujuk dan menuntut para guru untuk kreatif
dalam mengembangkan kerangka berpikir dan bahan ajar di sekolah. Karena
itu sangat boleh jadi munculnya gejala penyakit seperti disinyalir di
atas relevan dengan sistem pendidikan yang membelenggu akal untuk
kreatif, terutama bentukan hierarki kurikulum yang rigid dan
berorientasi semata pada dunia kerja.
Seorang pengembang masalah kreativitas di
dunia pendidikan, Ken Robinson, mengatakan hampir dapat dipastikan
seluruh sistem pendidikan di dunia menempatkan Matematika, Fisika,
Kimia, dan Biologi (Sains) sebagai acuan utama tingkat keunggulan sebuah
sekolah. Semakin banyak anak yang memiliki kemampuan Matematika dan
Sains, semakin prestisiuslah sekolah tersebut. Sebab itu, bidang studi
ini memperoleh jam yang begitu tinggi di sekolah, termasuk di antaranya
di Indonesia.
Sekolah kita tak memiliki laboratorium
seni dan musik yang cukup, juga perpustakaan yang mengoleksi buku-buku
sastra yang memadai untuk menumbuhkan kreativitas anak untuk bergerak. Seluruh
sekolah kita lebih banyak mengajarkan Matematika dan Sains yang hanya
mengandalkan otak dan pikiran, tetapi tak memberi porsi yang cukup
kepada anggota tubuh yang lain, seperti badan, tangan, dan kaki untuk
bergerak. Berapa jam anak kita mengikuti pelajaran tari dan olahraga di sekolah dalam satu minggu, dan lebih banyak mana ketika anak-anak kita belajar Matematika dan Sains?
Kritik Ken Robinson sangat masuk akal
sehingga dia mengatakan kebanyakan guru di sekolah saat ini menganggap
bahwa badan, tangan, dan kaki mereka hanya sebagai alat transportasi
kepala mereka yang penuh rumus dan terkadang membingungkan. Efek seperti
ini dapat menjadikan seseorang mati rasa, antisosial, dan menjadi
sangat arogan cara berpikir dan bertindaknya. Dalam rumus tak
ditoleransi kesalahan. Padahal sebuah kesalahan, dalam teori belajar,
merupakan awal dari sebuah kreativitas besar. (Sumber: sumber : http://ideguru.wordpress.com/).
0 comments:
Post a Comment